Aku adalah seorang Ibu lulusan S2 di salah satu kampus favorit di Indonesia, namun akhirnya memilih menjadi Ibu Rumah Tangga tanpa mengejar jenjang karir dan profesi. Aku memilih dengan sadar pada awalnya. Akan tetapi, dalam keberjalanannya, aku sering dibenturkan dengan perasaan “tidak berdaya” karena berhadapan dengan urusan domestik. Terlebih, banyak sekali opini orang tentang “sayang gelarnya”, “sayang sudah sekolah tinggi”. Kondisi itu terkadang membuat aku berpikir ulang tentang keputusanku.
Namun, hari ini aku kembali mendapatkan strong reason why menjadi IRT. Di era pergaulan anak yang macam-macam ini, aku merasa harus mendampingi langsung anak-anak, berjuang menjadi orang pertama yang hadir dan bisa membantu kebutuhan mereka. Begitu banyak berita buruk dan kriminalitas sosial terjadi di lingkungan anak-anak. Aku benar-benar belum siap jika harus memberikan kendali tentang mereka ke pihak lain.
Apakah keputusanku bijak? Bagaimana caranya agar aku dapat mengoptimalkan peranku dan menjaga konsistensi pilihanku sendiri?
Pertama, mari kita mulai dari pertanyaan inti:
“Apakah keputusanku bijak?”
Ya, keputusan ibu sangat bijak karena Ibu memilih peran ini dengan sadar. Keputusan yang sadar, dipikirkan, dan dijalani dengan ilmu, pertimbangan nilai, tanggung jawab, dan cinta adalah wujud dari kebijaksanaan.
Menjadi ibu rumah tangga bukanlah pilihan yang pasif. Justru dalam konteks sekarang, saat dunia makin tidak aman, dan anak-anak makin mudah terpapar pengaruh dari luar, kehadiran Ibu yang cerdas di rumah secara utuh adalah dinding yang bisa membantu melindungi mereka. Dan itu bukan sekadar pekerjaan domestik. Itu adalah kerja membangun seorang manusia.
Namun, kami paham bahwa perasaan tidak berdaya itu tetap valid.
Pekerjaan domestik memang bisa memakan jiwa. Ia tidak pernah selesai, tidak pernah mendapat penghargaan yang terlihat, dan sering kali membuat Ibu kehilangan identitas.
Namun, rasa tidak berdaya itu bukan tanda bahwa Ibu salah memilih. Itu sinyal bahwa Ibu butuh ruang untuk tetap menjadi diri sendiri, bukan membawa titel “Ibu” atau “Istri”.
Jadi, bagaimana mengoptimalkan peran Ibu dan menjaga konsistensi pilihan?
1. Bedakan Antara “Peran” dan “Jati Diri”
Peranmu saat ini adalah ibu rumah tangga. Tapi jati dirimu lebih luas—Ibu adalah seorang perempuan terdidik, punya pengalaman, wawasan, dan potensi. Jangan lupakan itu. Sediakan waktu untuk tetap mengakses jati diri setiap hari: menulis, membaca, berdiskusi, belajar, atau melakukan hal-hal menyenangkan yang tidak berkaitan dengan anak-anak atau suami. Ini bukan egoisme. Ini bentuk perawatan jiwa.
2. Berikan Makna pada Rutinitas
Urusan domestik bisa terasa hampa kalau dijalani hanya sebagai kewajiban. Tapi jika Ibu melihat bahwa itu adalah bagian dari mendidik, mencintai, dan membangun peradaban kecil di rumahmu, maka setiap pekerjaan akan punya nilai.
Contohnya, menyiapkan sarapan bukan cuma soal makanan—itu adalah upaya Ibu menjadi ahli gizi bagi anak-anak Ibu di rumah. Momen memandikan anak, menyuapi anak makan, bukan sekadar pekerjaan berulang yang tak menghasilkan, tapi itu adalah momen-momen membangun kelekatan emosional.
Pernah, gak, terbesit dalam proses memasak, mencuci baju anggota keluarga, maupun mengurusi hal-hal domestik lainnya, Ibu dalam hati sambil berdoa “Ya Tuhan, semoga dengan makanan ini, mereka tumbuh jadi manusia yang bermanfaat”, “Ya Tuhan, semoga pakaian ini, sepatu ini, mengantarkan mereka bertemu orang-orang yang baik”.
3. Susun Ulang Ekspektasi dan Standar Pribadi
Kadang rasa lelah dan frustasi muncul karena standar kita terlalu tinggi, ingin segalanya berjalan “sempurna”. Tapi rumah tangga adalah medan yang penuh kekacauan yang manusiawi. Konsistensi bukan berarti selalu stabil dan kuat. Konsistensi adalah komitmen untuk kembali bangkit setiap kali merasa jatuh.
Hasil bukanlah ada dalam kendali seorang Ibu, sehingga jangan ukur kegagalan maupun keberhasilan Ibu hanya dari standar media sosial maupun ekspektasi kesempurnaan. Setiap langkah kecil akan berarti. Maju maupun mundur. Ya, mundur pun tetap ada pelajaran berharga.
4. Validasi dan Apresiasi Diri Ibu Sendiri
Kalau Ibu menunggu dunia untuk mengakui peranmu, Ibu bisa kecewa. Tapi kalau Ibu bisa berdiri di depan cermin dan berkata,
“Hari ini aku berjuang lagi, demi keluargaku, demi nilai yang kupercaya”—itu cukup.
Karena tak semua ibu kuat mampu memilih mendampingi anaknya dari dekat. Tapi Ibu melakukannya.
Kesimpulannya…
Ya, Ibu sedang berjalan di jalan yang bijaksana, meski rasanya berat. Perasaan tidak berdaya itu bukan tanda kelemahan, tapi bentuk kejujuran. Dan hari ini, saat Ibu menemukan alasan yang kuat untuk tetap bertahan dengan pilihan ini, itu artinya jiwa Ibu masih bercahaya. Rawatlah pancaran itu, bukan dengan ambisi besar, tapi dengan langkah kecil yang konsisten.
Ibu tidak gagal karena memilih keluarga.
Ibu sedang membangun dunia—dari rumah.